Adakah Dajjal?
Keberadaan
Dajjal merupakan salah satu topik yang menarik dan layak kaji.
Pasalnya, masalah yang satu ini sering menjadi ‘isu kondisional’ sejak
dahulu kala. Simpang siur pendapat pun sering kali bergulir di tengah
umat, tentunya dengan berbagai macam persepsi dan landasan berpikir yang
berbeda. Tak ayal, kontroversi ini menjadikan bingung banyak orang yang
notabene awam.
Sebelum
menelusuri kontroversi sikap seputar Dajjal, tentunya amat penting
untuk didudukkan terlebih dahulu hakikat Dajjal yang sedang
dipermasalahkan ini. Karena hukum terhadap sesuatu, merupakan cabang
dari penggambarannya. Bagaimana mungkin seseorang bisa menghukumi bahwa
Dajjal itu ada atau tidak, sementara belum jelas baginya hakikat Dajjal
yang sedang dipermasalahkan.
Hakikat Dajjal yang Dipermasalahkan
Dajjal
yang sedang dipermasalahkan keberadaannya itu adalah seseorang dari
bangsa manusia yang Allah Subhanahu wa Ta’ala munculkan di akhir zaman
(dengan segala kekuasaan dan hikmah-Nya), sebagai fitnah (ujian) besar
bagi umat manusia di muka bumi ini1, dan sebagai salah satu pertanda
kuat semakin dekatnya hari kiamat2. Bentuk fisik Dajjal adalah: matanya
buta sebelah (yang dengannya disebut Al-Masih), pada dahinya tertulis
huruf (ك ف ر) yang berarti kafir di mana tulisan itu bisa dibaca oleh
siapa saja yang di hatinya ada keimanan3, berambut sangat keriting4,
bertubuh besar, dan sudah ada saat ini di sebuah pulau yang ada di
tengah lautan (arahnya sebelah timur kota Madinah), dalam keadaan
dibelenggu dengan belenggu besi yang amat kuat5.
Ketika
muncul, dia mengaku sebagai Allah Subhanahu wa Ta’ala (padahal
sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak buta sebelah seperti dia)
dan menyeru umat manusia untuk menyembah dirinya. Allah Subhanahu wa
Ta’ala kuasakan bagi Dajjal untuk membawa sesuatu seperti Jannah (surga)
dan Naar (neraka). Jannah Dajjal hakikatnya adalah Naar Allah, dan Naar
Dajjal hakikatnya adalah Jannah Allah6.
Tempat
kemunculannya kelak dari sebuah jalan yang terletak antara negeri Syam
dan Irak. Dia pun akan tinggal di muka bumi ini selama 40 hari; hari
pertama lamanya satu tahun, hari kedua lamanya satu bulan, hari ketiga
lamanya satu pekan, hari keempat dan seterusnya lamanya seperti
hari-hari biasa (24 jam). Allah Subhanahu wa Ta’ala kuasakan pula
baginya kemampuan untuk mengelilingi dunia dengan sekejap seiring dengan
berhembusnya arah angin (kecuali kota Makkah dan Madinah, tak mampu
dimasukinya karena dijaga oleh para malaikat Allah Subhanahu wa Ta’ala).
Sebagaimana pula Allah Subhanahu wa Ta’ala kuasakan baginya hal-hal
aneh lainnya yang tak dimampui oleh manusia biasa.
Kemudian
terjadilah pertempuran yang dahsyat antara Dajjal berikut pengikutnya
melawan pasukan Islam yang dipimpin oleh Al-Imam Mahdi yang diperkuat
oleh Nabi ‘Isa ‘alaihissalam yang Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan
dari langit. Akhirnya Dajjal tewas dibunuh oleh Nabi ‘Isa ‘alaihissalam
di daerah Bab Ludd, Palestina7. Demikianlah hakikat Dajjal yang
dipersoalkan eksistensinya itu. Untuk mengetahui lebih rinci tentang
Dajjal dan hakikatnya, silakan membaca rubrik Kajian Utama pada edisi
ini.
Rambu-rambu Penting dalam Perselisihan dan Perbedaan Pendapat
Para
pembaca yang mulia, dalam Al-Qur`anul Karim, Allah Subhanahu wa Ta’ala
Yang Maha Rahman telah memberikan bimbingan-Nya sekaligus solusi bagi
segala perselisihan, perbedaan pendapat, dan kontroversi yang mengitari
kehidupan para hamba-Nya. Termasuk perkara Dajjal yang tengah
dipermasalahkan ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَإِنْ
تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُوْلِ إِنْ
كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ
وَأَحْسَنُ تَأْوِيْلاً
“Dan
jika kalian berselisih dalam suatu perkara, maka kembalikanlah kepada
Allah dan Rasul-Nya jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir.
Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa`: 59)
Al-Imam
Al-Qurthubi rahimahullah berkata: “(Kembalikanlah kepada Allah dan
Rasul-Nya), maksudnya: kembalikanlah keputusan permasalahan tersebut
kepada Kitabullah (Al-Qur`an) dan kepada Rasul-Nya dengan bertanya
kepada beliau semasa hidupnya atau dengan merujuk kepada Sunnah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sepeninggal beliau. Demikianlah
keterangan dari Mujahid, Al-A’masy, dan Qatadah rahimahumullah, dan
memang benar apa yang mereka katakan itu. Barangsiapa tidak sepakat
dengan (apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala bimbingkan, pen.) ini, maka
telah cacat keimanannya karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah nyatakan
dalam ayat tersebut; (jika kalian beriman kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala dan hari akhir).” (Tafsir Al-Qurthubi juz 5, hal. 261)
Kembali
(merujuk) kepada Al-Qur`an dan Sunnah Rasul-Nya dalam setiap
permasalahan yang diperselisihkan amat besar hikmahnya. Sebagaimana yang
dikatakan Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah ketika menafsirkan surat Ali
‘Imran ayat 103: “Allah mewajibkan kepada kita agar berpegang teguh
dengan Kitab-Nya (Al-Qur`an) dan Sunnah Nabi-Nya, serta merujuk kepada
keduanya di saat terjadi perselisihan. Ia (juga) memerintahkan kepada
kita agar bersatu di atas Al-Qur`an dan As-Sunnah secara keyakinan dan
amalan. Itulah sebab keselarasan kata dan bersatunya apa yang
tercerai-berai, yang dengannya akan teraih maslahat dunia dan agama
serta selamat dari perselisihan…” (Tafsir Al-Qurthubi juz 4, hal. 105)
Lain
halnya dengan akal (semata) yang di-Tuhan-kan oleh sebagian orang serta
lebih diutamakan daripada Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam (syariat)8. Padahal fenomena akal ini amat memilukan.
Tak sedikit dari para pemujanya yang menyesal dan bingung akibat jalan
yang ditempuhnya itu.
Abu Abdillah Ar-Razi, tokoh Mu’tazilah yang telah menyelami lautan akal tersebut pernah mengatakan:
“Kesudahan mengedepankan akal adalah belenggu.9
Dan kebanyakan upaya (hasil pemikiran) para intelektual itu adalah kesesatan
Ruh-ruh kami terasa amat liar di dalam tubuh-tubuh kami
Dan hasil dari kehidupan dunia kami adalah gangguan dan siksaan (batin)
Tidaklah didapat dari penelitian yang kami lakukan sepanjang masa
melainkan kumpulan pernyataan-pernyataan (yang tak menentu)
Aku
(Ar-Razi) telah memerhatikan dengan saksama berbagai seluk-beluk ilmu
kalam dan metodologi filsafat. Maka kulihat semua itu tidaklah dapat
menyembuhkan orang yang sakit serta tidak pula memuaskan orang yang
dahaga. Dan (ternyata) metode yang paling tepat adalah metode
Al-Qur`an.” (Lihat Dar`u Ta’arudhil ‘Aqli wan Naqli, karya Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, juz 1, hal. 160)
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Engkau akan mendapati
kebanyakan para pakar di bidang ilmu kalam, filsafat, dan bahkan tasawuf
yang tidak mengindahkan apa yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, adalah orang-orang yang bingung. Sebagaimana yang dikatakan
Asy-Syahrastani rahimahullah:
‘Sungguh aku telah keliling ke ma’had- ma’had (filsafat) tersebut
dan seluruh pandanganku tertuju kepada mercusuar-mercusuarnya
Namun, tak kulihat padanya kecuali orang yang bingung sambil bertopang dagu
dan orang yang menyesal sambil menggemertakkan giginya’.” (Dar`u Ta’arudhil Aqli Wan Naqli, juz 1, hal. 159)
Kontroversi Seputar Dajjal
Secara garis besar, ada tiga pendapat dalam permasalahan ini:
Pertama:
Dajjal dengan gambaran di atas tidak ada sama sekali. Ini merupakan
pendapat kelompok Khawarij, Jahmiyyah, dan sebagian Mu’tazilah. (Lihat
Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Hajjaj, karya Al-Imam An-Nawawi
rahimahullah juz. 18, hal. 263)
Dalilnya:
1.
Masalah Dajjal tidak disebutkan dalam Al-Qur`an. Kalaulah Dajjal
tersebut benar adanya niscaya akan disebutkan dalam Al-Qur`an.
2.
Hadits-hadits seputar Dajjal bertentangan dengan akal. Mana mungkin ada
manusia (yang bukan nabi) mempunyai kemampuan seperti itu?! Lebih-lebih
lagi hari pertama, kedua, dan ketiganya tidak 24 jam. Belum pernah ada
kejadian seperti itu sepanjang sejarah umat manusia.
3.
Ketetapan adanya Dajjal akan mengundang orang untuk mengaku-ngaku
sebagai Dajjal. Tentunya yang demikian ini termasuk membuka pintu
kejelekan bagi umat.
Kedua:
Dajjal dengan gambaran di atas benar adanya. Hanya saja semua yang
dipertontonkan Dajjal di hadapan umat manusia tidak ada hakikatnya,
layaknya sulap. Ini merupakan pendapat Ibnu Hazm, Ath-Thahawi, Abu ‘Ali
Al-Jubba’i, dan sebagian Jahmiyyah. (Lihat At-Tadzkirah, karya Al-Imam
Al-Qurthubi rahimahullah hal. 552 dan An-Nihayah Fil Fitan wal Malahim,
karya Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah juz 1, hal 164/dinukil dari
Majalah At-Tau’iyah Al-Islamiyyah no. 223, tahun ke-25/1420 H hal.
95-96)
Dalilnya:
Jika semua yang ditampilkan Dajjal itu ada hakikatnya, niscaya akan
menjadi rancu antara pendusta dan yang jujur. Demikian pula antara
seorang nabi dengan yang mengaku nabi. (Lihat At-Tadzkirah, hal. 552)
Ketiga:
Dajjal dengan gambaran di atas benar adanya, dan segala apa yang
ditampilkannya di hadapan umat manusia adalah nyata bukan khayal ataupun
sulap. Ini merupakan pendapat Ahlus Sunnah wal Jamaah, seluruh ahli
hadits dan ahli fiqh. (Lihat Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Hajjaj,
juz 18, hal. 263)
Dalilnya:
1. Al-Qur`anul karim, yaitu firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
يَوْمَ يَأْتِي بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ لاَ يَنْفَعُ نَفْسًا إِيْمَانُهَا
“Pada hari datangnya sebagian tanda-tanda Rabbmu tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang bagi dirinya.” (Al-An’am: 158)10
2. Hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang amat banyak jumlahnya, hingga mencapai derajat mutawatir.
-
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata {ketika membantah para
pengingkar (adanya) Dajjal}: “Dengan pendapat tersebut akhirnya mereka
keluar dari apa yang dinyatakan para ulama. Hal itu disebabkan penolakan
mereka terhadap hadits-hadits shahih yang dinukil secara mutawatir dari
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Lihat Iqamatul Burhan,
karya Asy-Syaikh Hamud bin Abdillah At-Tuwaijiri rahimahullah/Majalah
Al-Buhuts Al-Islamiyyah no.13, tahun 1405 H, hal. 103)
-
Asy-Syaikh Hamud bin Abdillah At-Tuwaijiri rahimahullah berkata: “Telah
mutawatir hadits-hadits seputar Dajjal dari jalan (sanad) yang
berbeda-beda, sebagaimana yang telah saya sebutkan dalam kitab Ithaful
Jama’ah. Jika saja tidak ada hadits-hadits tersebut kecuali hadits yang
memerintahkan untuk berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari
fitnah Dajjal pada (penutupan) setiap shalat, yang demikian itu sudah
cukup sebagai bukti akan adanya Dajjal dan bantahan bagi yang
mengingkarinya.” (Iqamatul Burhan/ Majalah Al-Buhuts Al-Islamiyyah no.
13, tahun 1405 H, hal. 103)
3.
Keberadaan Dajjal merupakan hal yang disepakati Ahlus Sunnah wal Jamaah
dari kalangan ahli hadits dan ahli fiqih. Al-Imam Al-Qurthubi
rahimahullah berkata: “Pasal: Iman akan adanya Dajjal dan (berita, pen.)
kemunculannya adalah benar. Ini merupakan pendapat Ahlus Sunnah wal
Jamaah, seluruh ahli hadits dan ahli fiqih.” (At-Tadzkirah, hal. 552)
Diskusi Pendapat
1. Pendapat pertama
-
Pendapat ini bersumber dari Khawarij, Jahmiyyah, dan sebagian
Mu’tazilah yang notabene ahlul bid’ah wal furqah. Sementara setiap
muslim diperintah untuk mengikuti jejak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan para sahabatnya, serta menjauhi bid’ah dan para
pengusungnya.
-
Pernyataan mereka bahwa masalah Dajjal tidak disebutkan dalam
Al-Qur`an, tidak bisa dibenarkan sebagaimana keterangan Al-Hafizh Ibnu
Hajar rahimahullah berikut ini:
a) Bahwasanya Dajjal (secara tersirat, pen.) masuk dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
يَوْمَ يَأْتِي بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ لاَ يَنْفَعُ نَفْسًا إِيْمَانُهَا
“Pada hari datangnya sebagian tanda-tanda Rabb-mu tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang bagi dirinya.” (Al-An’am: 158)
Diriwayatkan
oleh At-Tirmidzi rahimahullah dan dishahihkannya dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu secara marfu’ (disandarkan kepada Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam):
ثَلَاثَةٌ
إِذَا خَرَجْنَ لَمْ يَنْفَعْ نَفْسًا إِيْمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ
مِنْ قَبْلُ: الدَّجَّالُ وَالدَّابَّةُ وَطُلُوْعُ الشَّمْسِ مِنْ
مَغْرِبِهَا
“Tiga
hal apabila telah muncul (terjadi) maka tiada bermanfaat lagi sebuah
keimanan bagi seorang jiwa yang belum beriman (sebelumnya): Dajjal,
daabbah, dan terbitnya matahari dari arah barat.” (Dishahihkan oleh
Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 3023)
b)
Telah ada sinyal dalam Al-Qur`an tentang turunnya Nabi ‘Isa
‘alaihissalam (di akhir zaman, pen.) sebagaimana dalam firman-Nya
Subhanahu wa Ta’ala:
وَإِنْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ إِلاَّ لَيُؤْمِنَنَّ بِهِ قَبْلَ مَوْتِهِ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكُوْنُ عَلَيْهِمْ شَهِيْدًا
“Tiada
seorang pun dari ahli kitab, kecuali akan beriman kepadanya (‘Isa)
sebelum kematiannya (di akhir zaman, pen.). Dan di hari Kiamat nanti
‘Isa itu akan menjadi saksi terhadap mereka.” (An-Nisa`: 159)
وَإِنَّهُ لَعِلْمٌ لِلسَّاعَةِ فَلاَ تَمْتَرُنَّ بِهَا وَاتَّبِعُوْنِ هَذَا صِرَاطٌ مُسْتَقِيْمٌ
“Dan
sesungguhnya ‘Isa itu benar-benar memberikan pengetahuan tentang hari
kiamat. Karena itu janganlah kamu ragu-ragu tentang hari kiamat itu dan
ikutilah Aku, inilah jalan yang lurus.” (Az-Zukhruf: 61)
Sebagaimana
pula telah sah (dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen.)
bahwa Nabi ‘Isa ‘alaihissalam lah yang membunuh Dajjal, sehingga
cukuplah disebutkan salah satunya (Nabi ‘Isa ‘alaihissalam, pen.) untuk
menunjukkan keberadaan yang lainnya (Dajjal, pen.). Demikian pula karena
keduanya dijuluki Al-Masih (sehingga cukup disebutkan salah satunya
saja, pen.), hanya saja Dajjal Al-Masih yang sesat sedangkan Nabi ‘Isa
Al-Masih yang membawa petunjuk.
c) Disebutkan dalam Tafsir Al-Baghawi, bahwa penyebutan Dajjal ada dalam Al-Qur`an, sebagaimana dalam firman-Nya:
لَخَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ أَكْبَرُ مِنْ خَلْقِ النَّاسِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُوْنَ
“Sesungguhnya
penciptaan langit dan bumi lebih besar daripada penciptaan manusia akan
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Al-Mu`min: 57)
Yang
dimaksud manusia di sini adalah Dajjal, disebutkan secara umum
(manusia, pen.) sedangkan yang dituju adalah khusus (Dajjal, pen.). Bila
hal ini benar, maka ia merupakan jawaban yang paling tepat dalam
permasalahan ini, dan sebagai penyebutan global bagi apa yang dirinci
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (perihal Dajjal tersebut, pen.). Wal
‘ilmu ‘indallahi ta’ala.” (Fathul Bari juz 13, hal. 98)
-
Pernyataan mereka bahwa hadits-hadits seputar Dajjal bertentangan
dengan akal, maka akal siapakah yang dijadikan pijakan?! Padahal akal
manusia itu berbeda-beda baik latar belakang maupun kemampuan nalarnya.
Lebih dari itu, akal manusia amat terbatas kemampuannya, sehingga ia
tidak bisa dijadikan tolok ukur untuk menetapkan atau menolak suatu
berita yang sah dalam agama ini.
Al-Imam
Asy-Syathibi rahimahullah berkata: “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa
Ta’ala telah memberikan batasan kemampuan akal yang tak bisa dilampaui,
dan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memberikan kemampuan bagi akal untuk
mengetahui segala sesuatu yang diinginkan.” (Al-I’tisham juz 2, hal.
318)
Asy-Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata: “Berbagai macam
berita yang diriwayatkan secara shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam maka benar keberadaannya dan wajib dipercayai, baik dapat
dirasakan oleh panca indera kita maupun yang bersifat ghaib, baik yang
dapat dijangkau oleh akal kita maupun tidak.” (Syarh Lum’atul I’tiqad,
hal. 101)
Asy-Syaikh
Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata: “Hakikat iman adalah
keyakinan yang sempurna terhadap segala yang diberitakan para rasul,
yang mencakup ketundukan anggota tubuh kepadanya. Iman yang dimaksud di
sini bukanlah yang berkaitan dengan perkara yang bisa dijangkau panca
indera, karena dalam perkara yang seperti ini tidak berbeda antara
muslim dengan kafir. Akan tetapi permasalahannya berkaitan dengan
perkara ghaib yang tidak bisa kita lihat dan saksikan (saat ini). Kita
mengimaninya, karena (adanya) berita yang datang dari Allah Subhanahu wa
Ta’ala dan Rasul-Nya. Inilah keimanan yang membedakan antara muslim
dengan kafir, yang mengandung kemurnian iman kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala dan Rasul-Nya. Maka, seorang mukmin (wajib) mengimani semua yang
diberitakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya baik yang dapat
disaksikan oleh panca inderanya maupun yang tidak. Baik yang dapat
dijangkau oleh akal dan nalarnya, maupun yang tidak dapat dijangkaunya.
Hal ini berbeda dengan kaum zanadiqah (yang menampakkan keislaman dan
menyembunyikan kekafiran, -pen.) serta para pengingkar perkara ghaib
(yang telah diberitakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya).
Dikarenakan akalnya yang bodoh lagi dangkal serta jangkauan ilmunya yang
pendek, akhirnya mereka dustakan segala apa yang tidak diketahuinya.
Maka rusaklah akal-akal (pemikiran) mereka itu, dan bersihlah akal-akal
(pemikiran) kaum mukminin yang selalu berpegang dengan petunjuk Allah
Subhanahu wa Ta’ala.” (Taisir Al-Karimirrahman hal. 23)
Berikutnya,
Allah Maha Kuasa lagi Maha segala-galanya untuk memunculkan manusia
(selain nabi) yang mempunyai kemampuan semacam itu. Sebagaimana pula Dia
Maha Mampu untuk menjadikan hari-hari Dajjal seperti yang diberitakan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
-
Pernyataan mereka bahwa ketetapan adanya Dajjal akan mengundang orang
untuk mengaku sebagai Dajjal sehingga ditiadakan saja, maka tidak bisa
dibenarkan, karena berita yang sah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
Rasul-Nya tidaklah boleh ditolak dengan kemungkinan-kemungkinan semacam
ini. Bahkan semua itu wajib diimani dan diterima dengan lapang dada,
walaupun ada orang yang terfitnah dengan apa yang dipropagandakannya.
(Lihat Iqamatul Burhan/ Majalah Al-Buhuts Al-Islamiyyah no.13, tahun
1405 H, hal. 112)
2. Pendapat kedua
Pendapat kedua adalah pendapat yang lemah berdasarkan uraian berikut ini:
-
Semua yang diberitakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seputar
Dajjal dan segala kemampuannya (dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala)
bukanlah khayal ataupun sulap. Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata:
“Pernyataan mereka bahwa apa yang ditampilkan oleh Dajjal itu hanyalah
sulap dan khayal merupakan pernyataan yang lemah dan tidak bisa
diterima. Karena semua yang diberitakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam seputar Dajjal dan segala kemampuannya merupakan sesuatu yang
nyata (bisa terjadi) dan akal/nalar pun bisa menerimanya. Sehingga wajib
difahami sesuai dengan hakikat/zhahirnya (yang diberitakan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam).” (At-Tadzkirah, hal. 553)
-
Pernyataan mereka: “Jika semua yang ditampilkan Dajjal di hadapan umat
manusia itu ada hakikatnya, niscaya akan menjadi rancu antara pendusta
dan yang jujur, dan tidak ada bedanya antara seorang nabi dengan yang
mengaku nabi,” tidaklah bisa dibenarkan.
Al-Qadhi
‘Iyadh rahimahullah berkata: “(Asumsi) yang demikian merupakan suatu
kesalahan dari mereka. Karena Dajjal dengan segala kemampuannya (dengan
izin Allah Subhanahu wa Ta’ala) tidaklah mengaku sebagai nabi, akan
tetapi justru mengaku sebagai Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berhak
diibadahi. Padahal realita keadaannya, baik dari segi sepak terjangnya,
adanya ciri makhluk pada dirinya, kondisinya yang cacat fisik, tidak
mampu mengubah matanya yang buta sebelah menjadi normal, dan tidak mampu
pula menghilangkan tanda kafir yang ada pada dahinya, merupakan bukti
kuat bahwa dia pendusta.” (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Hajjaj, juz
18, hal. 243)
Jawaban senada juga disampaikan Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah, sebagaimana dalam kitabnya At-Tadzkirah (hal. 552).
3. Pendapat ketiga:
-
Adapun pendapat ketiga, maka dasarnya cukup kuat. Di samping dari
Al-Qur`an sebagaimana yang diulas oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah
di atas, hadits-hadits mutawatir sebagaimana yang dinyatakan Al-Hafizh
Ibnu Katsir rahimahullah dan Asy-Syaikh Hamud At-Tuwaijiri rahimahullah,
serta kesepakatan Ahlus Sunnah dari kalangan ahli hadits dan ahli fiqih
sebagaimana yang dijelaskan Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah.
Pendapat Manakah yang Kuat (Rajih)?
Maka
pendapat yang kuat dalam permasalahan ini tentunya pendapat ketiga yang
menyatakan bahwa Dajjal benar adanya, dan segala apa yang
ditampilkannya di hadapan umat manusia adalah nyata, bukan khayal
ataupun sulap. Dasar tarjihnya sebagai berikut:
1.
Pendapat ini didasari dalil-dalil yang kuat baik dari Al-Qur`an, hadits
mutawatir, dan juga kesepakatan Ahlus Sunnah wal Jamaah. Sementara
pendapat pertama dan kedua tidak demikian adanya.
2.
Segala berita yang sah (bersumber) dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam wajib diterima dan diyakini kebenarannya. Apalagi bila berita
tersebut diriwayatkan secara mutawatir yang merupakan tingkatan
tertinggi dari suatu hadits. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ
“Apa
yang diberitakan Rasul kepada kalian maka terimalah dia, dan apa yang
dilarangnya maka tinggalkanlah; dan bertaqwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (Al-Hasyr: 7)
وَمَنْ
يُشَاقِقِ الرَّسُوْلَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى
وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى
وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيْرًا
“Dan
barangsiapa menentang Rasul setelah jelas baginya kebenaran, dan
mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa
bergelimang dalam kesesatan dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan
Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisa`: 115)
Hal
itu karena segala apa yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam adalah wahyu yang turun dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى. إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوْحَى
“Dan
tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya
itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (An-Najm:
3-4)
3.
Tidak adanya dalil dari Al-Qur`an, hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, ijma’ ataupun perkataan sahabat yang mengingkari adanya Dajjal,
bahkan semuanya menunjukkan bahwa Dajjal itu ada.
4.
Ingkar terhadap keberadaan Dajjal merupakan pendapat ahlul bid’ah wal
furqah dari kalangan Khawarij, Jahmiyyah, dan sebagian Mu’tazilah.
Dilihat dari narasumbernya saja (yakni ahlul bid’ah wal furqah) sudah
tidak layak, apalagi nyata-nyata bertentangan dengan hadits mutawatir
dan kesepakatan ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah dari kalangan ahli fiqih
dan ahli hadits.
5.
Keimanan akan adanya Dajjal termasuk masalah aqidah (prinsip), sehingga
disebutkan oleh para ulama dalam kitab-kitab aqidah mereka. Di
antaranya:
Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata: “(Di antara prinsip
Ahlus Sunnah, pen.) beriman akan kemunculan Al-Masih Dajjal (di akhir
zaman, pen.) yang pada dahinya tertulis huruf yang bermakna kafir,
beriman dengan hadits-hadits seputar Dajjal dan mengimani keberadaannya,
serta beriman bahwa Nabi ‘Isa ‘alaihissalam akan turun (ke muka bumi)
dan membunuh Dajjal di Bab Ludd.” (Ushul As-Sunnah, hal. 33-34)
Al-Imam Al-Barbahari rahimahullah berkata: “Mengimani (berita)
kemunculan Al-Masih Dajjal (di akhir zaman, pen.) dan turunnya Nabi ‘Isa
bin Maryam ‘alaihissalam (ke muka bumi) lalu membunuh Dajjal.” (Syarhus
Sunnah hal. 75)
Al-Imam Ath-Thahawi Al-Hanafi rahimahullah berkata: “Kami beriman akan
adanya tanda-tanda hari kiamat seperti munculnya Dajjal dan turunnya
Nabi ‘Isa ‘alaihissalam dari langit.” (Lihat Syarh Al-’Aqidah
Ath-Thahawiyyah, karya Al-Imam Ibnu Abil ‘Izz rahimahullah hal. 754)
Al-Imam Abu Muhammad ibnul Husain, yang lebih dikenal dengan sebutannya
Ibnul Haddad Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Bahwa tanda-tanda yang
akan muncul menjelang hari kiamat seperti munculnya Dajjal, turunnya
Nabi Isa ‘alaihissalam, asap tebal, daabbah, terbitnya matahari dari
arah barat, dan lain sebagainya dari tanda-tanda yang terdapat dalam
hadits-hadits shahih adalah benar.” (‘Aqidah Ibnil Haddad, dinukil dari
Iqamatul Burhan/Majalah Al-Buhuts Al-Islamiyyah no. 13, tahun 1405 H,
hal. 109)
Al-Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi Al-Hanbali rahimahullah berkata: “Wajib
(bagi setiap muslim, -pen.) untuk beriman kepada semua yang diberitakan
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan apa yang dinukil secara shahih
dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik perkara tersebut dapat
dilihat mata maupun yang bersifat ghaib. Kami meyakini bahwa semua itu
benar dan dapat dipercaya… (hingga perkataan beliau)… di antaranya
adalah yang berkaitan dengan tanda-tanda hari kiamat, seperti munculnya
Dajjal, turunnya Nabi ‘Isa ‘alaihissalam dan akhirnya membunuh Dajjal,
munculnya Ya’juj dan Ma’juj, terbitnya matahari dari arah barat,
keluarnya daabbah, dan lain sebagainya yang telah shahih penukilannya
(dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen.).” (Lum’atul
I’tiqad, lihat syarah Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal.
101)
Akhir
kata, semoga sajian seputar Dajjal dan keberadaannya ini dapat difahami
sebaik-baiknya, khususnya poin diskusi pendapat dan tarjihnya. Dengan
suatu harapan yang mulia, agar kita semua berpegang teguh dengan
Al-Qur`an dan Sunnah Rasul-Nya serta keterangan para ulama Ahlus Sunnah
wal Jamaah dalam permasalahan ini, sehingga mempunyai satu kesimpulan
yang sama; bahwa keberadaan Dajjal (di akhir zaman) benar adanya, dan
segala apa yang ditampilkannya di hadapan umat manusia adalah nyata
bukan khayal ataupun sulap.
Wallahu a’lam bish-shawab.
1 Sebagaimana riwayat Muslim dari hadits ‘Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu no. 2946.
2 Sebagaimana riwayat Muslim dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu no. 2947.
3 Sebagaimana riwayat Muslim dari hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu no. 2933 dan Hudzaifah no. 2934.
4 Sebagaimana riwayat Muslim dari hadits An-Nawwas bin Sam’an radhiyallahu ‘anhu no. 2137.
5 Sebagaimana riwayat Muslim dari hadits Tamim Ad-Dari radhiyallahu ‘anhu no. 2942.
6
Sebagaimana riwayat Muslim dari hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu
‘anhu no. 2938, Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu no. 2933, dan
Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu no. 2934.
7 Sebagaimana riwayat Muslim dari hadits An-Nawwas bin Sam’an radhiyallahu ‘anhu no. 2137.
8
Ini merupakan prinsip yang batil. Karena, kalaulah akal itu lebih utama
dari syariat niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan perintahkan kita
untuk merujuknya ketika terjadi perselisihan. Namun kenyataannya Allah
Subhanahu wa Ta’ala justru memerintahkan kita untuk merujuk kepada
Al-Qur`an dan As-Sunnah, sebagaimana yang terdapat dalam Surat An-Nisa`
ayat 59 di atas. Jika akal itu lebih utama dari syariat niscaya Allah
Subhanahu wa Ta’ala tidak akan mengutus para rasul pada tiap-tiap umat
dalam rangka membimbing mereka menuju jalan yang benar sebagaimana yang
terdapat dalam surat An-Nahl ayat 36. Kalaulah akal itu lebih utama dari
syariat, lantas akal siapakah yang dijadikan sebagai tolok ukur?! Dan
banyak hujjah-hujjah lain yang menunjukkan batilnya kaidah ini. Untuk
lebih rincinya lihat kitab Dar`u Ta’arudhil ‘Aqli wan Naqli, karya
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dan kitab Ash-Shawa’iq
Al-Mursalah ‘Alal Jahmiyyatil Mu’aththilah, karya Al-Imam Ibnul Qayyim
rahimahullah.
9 Yakni tidak menemukan solusi dari masalah yang dibahasnya.
10 Lihat keterangan Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah tentang ayat ini pada sub judul Diskusi Pendapat (pendapat pertama).
Dikutip dari www.asysyariah.com Penulis : Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc. Judul: Adakah Dajjal?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar